Di artikel sebelumnya (TOILET TRAINING UNTUK ANAK AUTISTIK, BAGIAN 1: PERSIAPAN) kita sudah membahas tentang persiapan untuk toilet training. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, maka Ayah dan Bunda dapat melanjutkan ke tahap pelaksanaan. Menurut Dr. Adriana S. Ginanjar, pengajar dari fakultas psikologi Universitas Indonesia sekaligus pendiri sekolah untuk siswa berkebutuhan khusus Mandiga, yang perlu diingat adalah untuk fokus pada proses, bukan keberhasilan. Hal ini diperlukan guna menghindari rasa stres yang mungkin muncul pada diri orang tua atau pendamping, jika toilet training mengalami kegagalan. Cobalah untuk menikmati kegiatan ini sebagai aktivitas yang dapat meningkatkan interaksi sehari-hari dengan anak. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat dianjurkan oleh Adriana untuk diterapkan dalam tahap pelaksanaan toilet training:
1. Membuat Jadwal
Ayah dan Bunda dapat membuat jadwal harian yang berisi catatan kebiasaan anak melakukan BAK dan BAB. Anda dapat mengobservasi waktu-waktu anak melakukan BAK/BAB selama sehari penuh, dari pagi hingga malam hari. Setelah melakukan pencatatan selama dua minggu, Anda bisa melihat pola-pola kebiasaan anak melakukan BAK dan BAB. Umumnya, anak akan membutuhkan waktu ke toilet sekitar enam kali sehari. Misalnya, dimulai pada saat bangun, sebelum dan sesudah tidur siang, sebelum dan sesudah waktu bermain, sebelum bepergian ke luar rumah, sebelum dan sesudah makan, dan sebelum tidur di malam hari.
Contoh jadwal toilet training dapat dilihat di sini:
http://milestones.org/wp-content/uploads/2015/07/ELIMINATION-PATTERNS-AND-DAILY-INTAKE-REC-final.pdf
2. Memberikan Imbalan (Reward)
Ayah dan Bunda dapat memberikan imbalan atau reward pada si kecil, untuk memotivasi keinginan atau usahanya dalam melakukan toilet training. Setelah anak menunjukkan keberhasilan, Anda dapat memberikan imbalan berupa pujian, tepuk tangan, mainan atau hal-hal yang disukainya.
3. Melakukan Rutinitas
Setiap hari mulailah rutinitas untuk membawa si kecil ke kamar mandi. Dimulai dari saat bangun tidur di pagi hari hingga sebelum waktu tidur di malam hari. Anda dapat mengajak anak ke kamar mandi sekitar 5 sampai 15 menit sebelum jadwal BAK atau BAB yang sudah dibuat di daftar jadwal toilet training. Rutinitas akan membentuk pola kebiasaan harian. Namun perlu diingat, jangan menyuruh si kecil berulang kali untuk BAK atau BAB dengan ketidaksabaran. Menurut Adriana, kemampuan untuk BAK dan BAB anak sangat berkaitan dengan perasaan rileks.
4. Langkah-langkah yang Perlu Diajarkan
Ketika mengajarkan BAK atau BAB pada anak, maka urutan langkah yang dapat dilakukan misalnya meliputi hal-hal di bawah ini:
- Melihat jadwal visual dengan menggunakan simbol atau gambar. Contoh dapat dilihat di sini: (https://raisingchildren.net.au/__data/assets/pdf_file/0015/37122/asd_visual_toieting_aid.pdf)
- Masuk ke kamar mandi pada jadwal yang telah ditentukan dan menutup pintu.
- Melepaskan celana (bukan seluruh pakaian).
- Duduk di atas WC hingga kegiatan BAK/BAB selesai.
- Membersihkan diri dengan air dan tisu.
- Turun dari WC, menyiram WC hingga bersih.
- Mengenakan celana kembali.
- Mencuci tangan dengan sabun dan mengeringkannya.
- Membuka pintu dan keluar dari kamar mandi.
5. Menggunakan Celana
Saat memulai toilet training, Ayah dan Bunda disarankan untuk memakaikan celana dalam kain pada anak untuk menggantikan popok sekali pakai. Meski lebih merepotkan, cara ini akan lebih efektif agar si kecil terbiasa merasakan basah dan tidak nyaman, sehingga ia mau diajak ke kamar mandi. Jika perlu, di luar celana dapat dialasi dengan popok atau alas karet saat anak tidur, untuk menghindari ‘bocor’ di tempat tidur.
6. Mengevaluasi Kegagalan
Ayah dan Bunda maupun para pendamping anak perlu mengantisipasi bahwa di minggu-minggu awal, toilet training tidak dapat langsung berhasil. Namun, jika lewat beberapa bulan dan anak belum menunjukkan kemajuan dalam toilet training, Adriana menyarankan untuk menghindari hukuman dan memarahi anak. Alih-alih menghukum atau memarahi anak, ajaklah ia membersihkan air seninya jika anak BAK tidak pada tempatnya. “Hindari melakukan kontak terlalu banyak, pasang ekspresi wajah datar sambil membantu anak mengepel lantai dan mengganti celananya,” saran Adriana.
Jika si kecil masih mengalami kegagalan dalam toilet training, jangan menyerah. Ayah dan Bunda dapat mengevaluasi mengapa toilet training mengalami kegagalan. Apakah tidak ada kemajuan sama sekali? Atau sesekali berhasil, namun belum konsisten? Apakah ada masalah tertentu yang dialami anak, misalnya sakit cukup lama, atau mengalami kecemasan, seperti pindah sekolah baru, atau mendapat pengasuh baru. Dan jangan lupa bahwa program toilet training harus dilakukan secara konsisten dan disiplin oleh orang tua serta seluruh pendamping anak di rumah (misalnya, kakek-nenek dan pengasuh).
“Program toilet training harus dilakukan secara konsisten dan disiplin
oleh orang tua serta seluruh pendamping anak di rumah.”
Sumber:
“Panduan Praktis Mendidik Anak Autis: Menjadi Orang Tua Istimewa”, Adriana S. Ginanjar.
http://raisingchildren.net.au/articles/autism_spectrum_disorder_toilet_training.html
Penulis: Hersinta | Orangtua dari penyandang autistik, dosen komunikasi di LSPR Jakarta dan kandidat PhD kajian media dan disabilitas di Curtin University