Di artikel sebelumnya, kita telah membahas tentang beberapa jenis institusi untuk edukasi bagi anak autistik. Kali ini, kita akan membahas lebih lanjut tentang terapi bagi anak autistik. Penanganan yang terpadu bagi anak autistik sangatlah penting. Penyusunan program terapi harus mengikuti kemampuan awal anak dan arah perkembangan perilakunya sesuai dengan tahapan umurnya. Dalam proses dan hasil terapi yang diperoleh harus diperhatikan secara teliti. Hal ini penting dilakukan, untuk mencegah terjadinya kelalaian seperti materi dasar yang lupa diajarkan. Konsekuensinya, anak akan kesulitan dalam mempelajari perilaku yang lebih kompleks. Berikut ini adalah beberapa jenis terapi yang diperuntukkan bagi anak autistik:
-
Terapi Perilaku
Terapi ini dilakukan untuk mengubah tingkah laku anak menjadi lebih baik (diterima di masyarakat). Terapi perilaku dapat dilakukan dalam bentuk terapi wicara yang menggunakan metode ABA (Applied Behaviour Analysis). Terapi ABA telah lama digunakan dan dirancang khusus untuk anak autistik. Dalam terapi ABA, anak diberikan pelatihan khusus dengan memberikan positive reinforcement kepada anak (hadiah atau pujian).
-
Terapi Biomedik
Terapi biomedik menyediakan obat-obatan dari dokter spesialis jiwa anak. Jenis obat, suplemen makanan, dan vitamin yang sering digunakan misalnya seperti risperidone, ritalin, haloperidol, pyrodoksin, DMG, TMG, magnesium, Omega-3, Omega-6, dan sebagainya.
-
Terapi Okupasi atau Fisik
Dalam terapi ini, perkembangan kemampuan fisik anak sangat diutamakan. Terapi okupasi dilakukan dalam upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan otot anak. Terapis harus mengembangkan kemampuan gerak anak seoptimal mungkin, seperti gerakan memegang objek, menulis, menekuk kaki dan tangan, membungkuk, berdiri seimbang, berjalan, dan melompat sesuai dengan kebutuhan saat itu.
-
Terapi edukasi
Terapi edukasi merupakan pelatihan keterampilan sosial dan sehari-hari agar anak menjadi lebih mandiri. Salah satu jenis terapi edukasi yang seringkali digunakan adalah TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication Handicapped Children). TEACCH merupakan program terstruktur yang menggunakan pengajaran secara sistematis kepada anak autistik yang berbeda-beda kemampuannya. Intinya, terapi ini bertujuan untuk melatih kemandirian dalam hal kemampuan sosial, keterampilan hidup sehari-hari, kemampuan vokasional, kemampuan menggunakan waktu luang, dan kemampuan komunikasipada anak.
-
Terapi Wicara
Intervensi dalam bentuk terapi wicara sangat diperlukan, mengingat umumnya anak autistik mengalami kesulitan berkomunikasi secara verbal. Terapi ini harus diberikan sejak dini, dikombinasikan dengan terapi-terapi lainnya.
-
Terapi Sensori Integrasi
Sensori integrasi dapat berupa gerakan, sentuhan, penciuman, pengecapan, penglihatan, dan pendengaran. Terapi ini bertujuan untuk mengorganisasikan informasi sensori yang diterima oleh anak autistik sehingga diharapkan mereka mampu menghasilkan respon yang lebih baik.
Selain yang disebutkan di atas, terdapat jenis terapi lainnya yang pendekatannya terbilang cukup menarik, yaitu terapi musik (menggunakan musik yang lembut), terapi lumba-lumba, terapi bermain, terapi visual (melihat gambar-gambar yang disenangi), dan lain sebagainya. Selain terapi umum yang digunakan untuk menangani anak autistik, intervensi keluarga (dukungan keluarga atau pendamping anak) juga merupakan hal penting. Dukungan dari keluarga atau pendamping anak akan sangat berpengaruh pada manajemen terapi yang dilaksanakan. Tanpa adanya dukungan dari keluarga atau pendamping anak, akan terasa sulit bagi anak.
Keberhasilan terapi bagi anak autistik dapat dilakukan dengan berbagai metode. Apabila kita mampu mendeteksi sedini mungkin dan melakukan manajemen multidisiplin yang sesuai, bukan tak mungkin kita akan dapat meraih hasil yang optimal bagi perkembangan anak. Jangan ragu untuk memilih jenis penanganan yang tepat bagi anak, yang tentunya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik anak.
Sumber:
Suteja, J. (2014). Bentuk dan Metode Terapi Terhadap Anak Autisme. Jurnal Edueksos, 3, 119-133.
Penulis: Gisela Gita, S.Psi. | Mahasiswa Sarjana Psikologi Peminatan Klinis, Universitas Atma Jaya, Jakarta