Terkadang, Ayah dan Bunda mengalami kebingungan dalam menghadapi anak yang kesulitan berkomunikasi dua arah. “Anakku tidak mau ngomong,” atau “Kok dia malas bicara ya?” dan “Anak saya enggak ada inisiatif untuk bicara” menjadi keluhan yang kerap terdengar dari mulut orangtua. Salah satu hal yang perlu diingat dan dilakukan adalah, tetap membiasakan berbicara dan berkomunikasi pada anak, meski si kecil tampak tidak merespon. Isilah dan penuhi ‘bank’ kosa katanya, karena anak punya kemampuan untuk menyimpan, mengingat serta merekam apa yang ia dengar dan lihat.
Berikut adalah tips-tips yang dapat dilakukan Ayah dan Bunda untuk meningkatkan kesempatan berbicara dengan si kecil.
1. Gambarkan situasi
Jelaskan pada si kecil segala situasi yang sedang dan akan dihadapi: di mana kita berada, apa yang sedang dilakukan, mau ke mana kita pergi, apa yang dilihat di sana. Bayangkan apa yang dilihat anak dan bagaimana mereka melihat situasi tersebut. Ceritakan dan jelaskan hal-hal yang sekiranya mereka sukai atau minati.
2. Ajukan pertanyaan
Meski anak belum dapat bicara, ajaklah mereka berinteraksi dengan mengajukan pertanyaan padanya. Ayah dan Bunda dapat memainkan intonasi dan menekankan pertanyaan dengan nada tertentu sehingga si kecil paham bahwa Anda menanyakan sesuatu. Tidak masalah bahwa mereka tidak merespon (atau mungkin mereka merespon dengan cara lain, misalnya ekspresi wajah, gerak tubuh, dan lainnya).
3. Bercerita
Gunakan kreativitas Anda untuk bercerita, sehingga si kecil tertarik. Misalnya, Anda sedang berjalan-jalan dengan si kecil, kemudian melihat kupu-kupu hinggap di setangkai bunga. Ayah dan Bunda bisa bercerita mengenai kupu-kupu tersebut, apa yang mereka lakukan, kenapa kupu-kupu tertarik dengan bunga, dan jika si kecil menyukai lagu, Anda bisa menyanyikan lagu yang bercerita mengenai kupu-kupu.
4. Tetap positif
Buatlah aktivitas berbicara atau mengobrol menjadi sesuatu yang menyenangkan dan positif. Jangan berbicara dengan anak hanya untuk memberi perintah atau larangan. Anda dapat menerapkan langkah-langkah yang lebih pendek untuk memancing anak berkomunikasi. Misalnya, si kecil baru akan berkomunikasi jika ada sesuatu yang dia inginkan. Contohnya, ketika lapar, ia akan merengek atau menangis. Tentunya akan sulit jika Ayah dan Bunda mengajarkan si kecil untuk berkata ‘lapar’ atau ‘makan’ pada saat itu. Namun, Anda bisa mengajarkannya untuk menggunakan bahasa tubuh, dengan menunjuk ke benda (misalnya makanan) yang ia inginkan.
5. Hindari bahasa bayi
Gunakan kalimat pendek, dengan bahasa yang sederhana dan jelas. Jangan gunakan bahasa ‘bayi’ seolah-olah mereka tidak paham dengan bahasa orang dewasa. Anak-anak akan belajar memahami dunia secara lebih baik dalam usia dini jika diajak berbicara dengan bahasa yang jelas dan dikondisikan dalam situasi yang ‘nyata’.
6. Bahasa tubuh juga penting
Komunikasi non-verbal seperti bahasa tubuh, ekspresi wajah dan intonasi atau nada suara juga merupakan hal penting, sama pentingnya dengan kemampuan bicara. Jika si kecil merespon dengan komunikasi non-verbal, jangan abaikan. Tunjukkan respon positif serta motivasi anak untuk berinteraksi lebih lanjut. Gunakan kontak mata untuk meningkatkan interaksi dengan si kecil. Misalnya, Anda dapat memegang sebuah benda yang diinginkan si kecil, letakan sejajar dengan mata Anda untuk memancingnya melihat ke wajah Anda.
7. Stop dan dengarkan
Jika anak berbicara (meski hanya sepatah atau dua patah kata dan secara perlahan) beri mereka kesempatan untuk merespon. Untuk anak autistik, kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang dipelajari secara bertahap. Karena itu, Anda bisa memancingnya dengan pertanyaan sederhana, seperti “Kamu mau ini?” dan memberinya kesempatan untuk bicara atau merespon dengan non-verbal (misalnya mengangguk untuk “iya” atau menggeleng untuk “tidak”).
“Tetap membiasakan berbicara dan berkomunikasi pada anak, meski si kecil tampak tidak merespon.”
Sumber:
Buletin LRD No. 100, April 2018
https://raisingchildren.net.au/autism/communicating-relationships/communicating/communication-asd
Penulis: Hersinta | Orangtua dari penyandang autistik, dosen komunikasi di LSPR Jakarta dan kandidat PhD kajian media dan disabilitas di Curtin University