Rutinitas pagi adalah awal yang tidak mudah bagi Pusat Belajar LilyPad. Pada suatu Senin di bulan September, murid-murid tengah duduk menanti giliran mereka. Untuk melaporkan aktivitas mereka selama akhir pekan, entah itu bermain bola atau membaca buku.
Seorang anak berusia 4 tahun bernama Izzy Green masuk ke kelas diantara dua murid yang sedang duduk. Ia berlari ke tengah ruangan diantara anak-anak yang lain, lalu tergeletak dan menutup diri, mengerang sambil memeluk selimut. Beberapa anak menoleh ke arahnya saat ia mendadak bergulung di atas karpet dan tiba-tiba berdiri. Kemudian ia pergi ke ujung ruangan, mengambil sebuah buku dan memberikannya kepada gurunya.
Seorang asisten guru membawa Izzy kembali ke tengah kelompok dan membujuknya untuk duduk di sebuah kursi plastik berwarna kuning di ujung lingkaran. Tetapi Izzy berteriak dan memukulkan lengannya ke asisten guru tersebut dan terjatuh ke lantai. Saat Izzy menendang-nendang dengan kakinya, tangannya menemukan kotak mainan. Sebuah mainan Dinosaurus berterbangan di ruangan dan semua mata pun tertuju kepada Izzy.
Izzy didiagnosa autistik saat usianya masih 3 tahun. Sampai akhir Juli, ia menghabiskan waktunya di tempat penitipan anak dan sekolah PAUD. Di tempat tersebut ia dikelilingi oleh orang-orang yang ia kenal, orang-orang yang tahu sikap Izzy. Namun sekolah itu kemudian ditutup. Memasukkan Izzy ke LilyPad seperti dibangunkan dengan kasar dari tidur yang nyenyak, tutur Victoria Green, Ibu dari Izzy.
Dari hari pertama sekolah sudah ada kejadian yang tidak mengenakkan. Guru yang mengajar meminta setiap murid untuk menggambar lingkaran pada sebuah kertas kecil. Tetapi Izzi ingin menggambar di kertas besar di atas kuda-kuda. Seorang guru pun berdiri di depan kuda-kuda untuk menahan Izzy, ia kemudian memukul guru tersebut. Sang guru kemudian menyebut Izzy agresif. Hubungan mereka sedikit kurang baik setelah kejadian tersebut.
Guru Izzy pun mencari cara untuk mencegah Izzy tantrum dan melempar mainan (atau terkadang batu) di kelas. Sejauh ini mereka memiliki dua ide : mendudukkannya di kursi plastik atau memberikan perintah seperti “duduk”. Setiap murid telah mengatahui tempat terbaik Izzy untuk menyendiri dan Izzy pun mengetahui hal yang sama.
Keluarga Izzy pun mengalami kendala di rumah. Mereka tidak bisa meninggalkan Izzy sendirian karena meninggalkannya dengan pengasuh ternyata tidak terjamin aman. Izzy dapat melarikan diri atau melukai dirinya sendiri.
Di kota besar, mereka dapat menemukan seseorang untuk membantu Izzy dalam terapi. Tetapi di kota kecil tempat mereka tinggal, di Madrid, Iowa, saat itu masih sulit untuk menemukan ahli terapi perilaku , baik dari swasta atau yang didanai pemerintah. Mereka harus menempuh jarak berjam-jam untuk menemukan tempat terapi terdekat.
Menurut Alacia Stainbrook, seorang analis perilaku dan koordinator program intervensi dini di Vanderbilt University Medical Center di Nashville, Amerika, banyak orang yang tinggal di kota kecil di Amerika yang menghadapi masalah serupa. Semakin jauh dari kota besar, semakin kecil kemungkinan untuk menemukan ahli dan terapis yang berpengalaman. Dan tidak memungkinkan untuk menempuh perjalanan 2 jam hanya untuk 30 menit sesi terapi.
Seperti kebanyakan keluarga dengan anak autistik lainnya,Victoria Green pun sebetulnya enggan untuk membesarkan Izzy di kota kecil. Kota kecil mereka termasuk relatif aman dari kejahatan dan nyaman untuk tinggal, tetapi tidak tersedia sarana dan prasarana yang memadai layaknya di kota besar.
Dua tahun yang lalu, Victoria mengikuti program yang melatih orang tua untuk mampu menangani anak autistik layaknya terapis. Program ini dilakukan melalui perbincangan via video call.
Semenjak itu, ada perubahan dalam Izzy. Jika dulu Izzy menghabiskan 20 menit untuk berhenti tantrum, sekarang hanya butuh 5 menit. Izzy pun mulai belajar menggunakan beberapa kata-kata untuk berkomunikasi.
Keterbatasan sarana memang hal yang sulit. Tetapi dengan kemajuan teknologi, semakin banyak keterbatasan yang bisa dilalui. Ke depannya, diharapkan anak-anak autistik di daerah-daerah pun mampu dijangkau oleh terapis maupun teknologi untuk mendapatkan saran dan fasilitas yang mereka butuhkan.
Sumber : https://www.spectrumnews.org/features/deep-dive/story-autism-small-town-america/
Penulis: Yesi Riana | Marketing di Community Music Center, Jakarta