Seorang wanita asal Missouri bernama Liz (29 tahun) tumbuh dewasa tanpa tahu bahwa dia memiliki diagnosa dalam spektrum autisme. Setelah memiliki dua orang anak, Liz baru mengetahui bahwa ternyata ia juga ada dalam spektrum autisme.
Saat anak lelaki Liz, Zachary, masih berusia 8 bulan, ia sering membenturkan kepalanya. Karena Zac terlahir prematur, Liz dan pasangannya berpikir hal tersebut mungkin karena kondisi lehernya yang lemah. Zachary akan menegakkan kepalanya, melihat ke sekitarnya, dan lalu membenturkan kepalanya dua atau tiga kali ke lantai, lalu melihat ke sekelilingnya lagi.
Saat Zac masuk ke taman kanak-kanak, barulah Liz mulai melihat hal itu tidak lazim dan menyadarinya sebagai gangguan perilaku. Selain itu, Zac juga mengalami keterlambatan perkembangan. Setelah Liz didiagnosa autis, barulah Liz melihat kemungkinan bahwa putranya juga menyandang autisme. Zac mulai menjalani tes dan hasilnya menunjukkan bahwa Zac autistik.
Bagi Liz, lebih mudah memahami keadaan Zac karena ia mengalami hal yang kurang lebih sama. Ia bisa memahami kenapa Zac melakukan hal-hal yang tertentu. Ia pun dapat mengerti kenapa Zac memilih sikap tertentu, sehingga lebih mudah bagi Liz untuk mengkoreksi sikap Zac.
Bagi Liz pribadi, mengetahui diagnosa yang sebenarnya sangat melegakan. Karena sebelumnya Liz didiagnosa dengan Borderline Personality Disorder. Diagnosa dan apa yang Liz alami, dirasakannya lebih mengarah pada autisme. Pengetahuan ini pun membuatnya semakin sadar akan siapa dirinya.
Akan tetapi, putranya, Zac, memiliki beberapa kebiasaan yang tidak lazim. Zac akan meludahi orang yang dia lihat sebagai teman. Dia juga sering memeluk dan mencium orang secara tiak terduga dan mengatakan pada orang-orang bahwa dia mengasihi mereka. Liz dan pasangannya memutuskan mereka harus melakukan sesuatu sebelum Zac masuk sekolah.
Bagi individu autistik, mereka memiliki masalah dalam berinteraksi sosial. Bagi mereka, dunia ini cukup membingungkan. Saat ditanya menganai kabar mereka, alih-alih menjawab “baik”, mereka akan menjelaskan secara detail mengenai hari mereka. Saat obrolan mereka dipotong, mereka tidak memahami kenapa. Mereka akan duduk dan menganalisa kenapa orang-orang yang tidak begitu mereka kenal, menanyakan kabar mereka.
Sebagian besar individu autistik suka belajar dan menyendiri, karena mereka tidak tahu bagaimana caranya berinteraksi dengan orang-orang di sekitar mereka. Mereka juga sangat menyukai rutinitas dan tidak suka akan perubahan. Mereka sering kali melihat hal-hal dari perspektif yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Hal ini dapat menimbulkan masalah komunikasi dengan orang lain. Tetapi terkadang dapat membantu orang lain juga untuk memahami bahwa tidak semua manusia sama.
Liz berharap, orang-orang lebih mengetahui dan memahami tentang autisme. Beberapa stigma bahkan menyebutkan bahwa autisme tidak terjadi pada perempuan, dan betapa dulu orang-orang sering meragukan bahwa ia autistik. Menurut Liz, semua orang dapat belajar mengenai autisme dan memberikan dukungan kepada individu autistik. Tetapi hanya mereka yang menyandang autisme yang tahu persis apa yang dialami dan dirasakan.
Berada dalam spektrum autisme membuat Liz lebih mampu memahami kondisi anaknya. Menurutnya, jika ia tidak ada dalam spektrum autisme, akan lebih sulit baginya memahami kondisi anaknya dan kenapa anaknya melakukan hal-hal tertentu.
Saat ada orang yang mengatakan bahwa Zac “aneh“, maka Zac akan menjelaskan bahwa ia tidak aneh seperti yang orang-orang pikirkan. Hanya cara berpikirnya saja yang berbeda dari orang kebanyakan. Liz mengatakan, dia memang membingungkan bagi banyak orang, tetapi seperti orang tidak dapat memahaminya, ia pun kesulitan untuk memahami orang lain. Dan hal tersebut kemungkinan tidak akan pernah bisa berubah.
Sumber : https://thestir.cafemom.com/toddler/101117/my_autism_story_liz_and
Penulis: Yesi Riana | Marketing di Community Music Center, Jakarta