Kesulitan anak dalam belajar, gangguan atensi, dan gangguan emosi atau perilaku terkadang dianggap sebagai gejala ASD oleh orang tua. Banyak orang tua yang mengkhawatirkan anaknya mengalami gejala ASD. Salah satu penyebabnya adalah ketika gejala yang dilihat hanya berdasarkan perilaku yang terlihat pada anak. Padahal, dibutuhkan tes secara medis untuk memperoleh hasil yang sebenarnya. Mendiagnosa gejala ASD membutuhkan proses tes neuropsikologikal yang detail.
Profesor Prizant yang merupakan ahli di bidang ASD berpendapat, semakin banyak ditemukan anak-anak yang diberi diagnosis ASD, padahal belum tentu benar pada kenyataannya. Dalam pengalamannya selama 40 tahun lebih menangani anak autistik, ia meyakini bahwa kesalahan mendiagnosa anak ke dalam gangguan ASD menjadi salah satu faktor terbesar yang berkontribusi dalam peningkatan angka individu yang terdiagnosa autistik. Hal ini sangatlah disayangkan. Ia menekankan hal ini : Sekali saja anak-anak Anda diberi diagnosa ASD, maka dapat merubah drastis kehidupan keluarga.
Keseharian Prizant berkaitan dengan anak-anak, keluarga dan tenaga ahli yang berhubungan dengan ASD. Sebagian besar aktivitasnya terfokus pada konsultasi dan program masa kanak-kanak awal meski ia juga terlibat dengan individu autistik dari segala usia. Selama periode itu, seringkali ahli ASD meminta pendapatnya, “Prof Prizant, seorang anak berusia 3 tahun lebih baru saja mengikuti program khusus ASD yang kami laksanakan. Kami sangat tertarik dan ingin mendengarkan bagaimana pendapat anda dengan anak ini”. Bagi Prizant, kalimat ini secara tidak langsung merupakan “kode” baginya : Kami melihat anak-anak dengaan kriteria ASD, namun kami merasa ragu bahwa anak-anak ini sebenarnya belum tentu terdiagnosa ASD.
Proses diagnosa yang sebenarnya melibatkan observasi, penilaian, dan diagnosa anak yang disesuaikan dengan latar dan konteksnya, mulai dari rumah sakit, klinik universitas, program pra-sekolah, rumah, komunitas, tempat bermain anak, dan tempat lainnya yang dibuat semirip mungkin dengan aktivitas keseharian anak. Selain proses tersebut, keterlibatan orang tua atau pengasuh juga sangat berpengaruh pada anak.
Profesor Prizant berpikir, bagaimana bisa seorang anak yang memiliki kemampuan sosial rata-rata, dengan mudah dapat diberi diagnosa ASD? Mengingat fakta bahwa ASD sangat berkaitan dengan kemampuan sosial, komunikasi sosial, dan social understanding. Salah satu jawabannya adalah “kurangnya pengalaman”. Misalnya, seorang ahli ASD yang kurang berpengalaman di bidangnya menggunakan pengetahuannya yang terbatas, cenderung menitikberatkan diagnosanya pada gejala pasiennya yang diasosiasikan dengan gejala ASD, padahal belum tentu gejala tersebut merupakan gejala ASD. Lebih jauh lagi, ia seringkali melihat peristiwa di mana orang tua yang merasa anaknya benar-benar terdiagnosa ASD nyatanya akan merasa lega ketika para ahli tersebut menyatakan bahwa anak mereka terdiagnosa ASD, meskipun di sisi lain ada perasaan ragu.
Mengingat tingkat diagnosa ASD semakin meningkat, pengalaman praktisi kesehatan menjadi hal penting dalam memberikan diagnosa. Secara umum juga ditemukan orang-orang yang sedang dalam masa pelatihan atau yang belum menjadi ahli sepenuhnya (mahasiswa yang menjalani pelatihan spesialis anak dan syaraf, pekerja sosial psikologi, mahasiswa psikologi yang sedang bekerja paruh waktu, dan lain-lain) telah bekerja di bidang ini.
Terakhir, yang menyebabkan meningkatnya prevalensi ASD adalah tujuan dari hasil diagnosa itu sendiri. Jika ahli dapat mengetahui tujuannya sesuai dengan tujuan klinis yang sebenarnya (yaitu dapat membedakan satu jenis gangguan dengan gangguan lainnya yang memiliki gejala hampir serupa) maka setidaknya dapat mencegah terjadi titik awal kesalahan diagnosa pad pasien. Kemampuan ini tentunya harus disertai pengalaman praktik mereka. Terlebih lagi, ASD merupakan gangguan yang sangat bervariasi, setiap individu yang mengalaminya berbeda satu sama lain.
Sumber :
Prizant. M. 2012. The Cutting Edge from Research to Practice : On the Diagnosis and Misdiagnosis of Autism Spectrum Disorder (ASD.)
Penulis: Gisela Gita, S.Psi. | Mahasiswa Sarjana Psikologi Peminatan Klinis, Universitas Atma Jaya, Jakarta