Sebagian besar orang masih mempunyai stigma negatif terhadap depresi. Termasuk bagi orang tua yang mengalami depresi. Hal ini diungkapkan oleh Kate, seorang Ibu dengan anak autistik. Bagi Kate, depresi tidak hanya soal lemah, rapuh, ketergantungan obat, atau selalu tidur setiap saat.
Kate memiliki kehidupan yang bahagia. Dia memiliki dua anak yang luar biasa, tiga ekor anjing, seorang suami yang sangat mendukungnya, dan sebuah rumah yang indah. Kate yakin, dirinya tidak lemah dan ia sangat mandiri. Ia juga tak memiliki masalah finansial, dan kehidupannya baik-baik saja.
Anak Kate yang berusia 6 tahun merupakan penyandang autistik non-verbal. Ini adalah bentuk autisme yang tidak banyak dibicarakan oleh orang-orang dan membuat banyak keluarga menjadi ‘terasing’ dari sekitarnya. Autisme yang membuat Kate tidak bisa tidur, yang membuatnya harus memperjuangkan hak atas terapi dan layanan yang bisa diperoleh putranya. Situasi yang kerap dirasanya, membuatnya ssangat sedih.
Kate sering berpikir, betapa luar biasa bahwa ia masih bertahan dengan pekerjaannya dan tetap melanjutkan kehidupannya. Ia sangat menyayangi anaknya, tetapi hatinya sering kali sedih saat melihat putranya, Cooper. Anaknya tidak pernah berbicara kepadanya, tidak pernah bermain bersama, dan tidak pernah bisa memakai pakaiannya sendiri. Baginya, kehidupannya sangat sulit untuk dijalani.
Hal yang membuatnya paling sedih adalah tentang kesehatan Cooper. Selama bertahun-tahun ia terkena infeksi telinga dan konstipasi yang parah. Toleransi Cooper terhadap rasa sakit cukup tinggi, namun berujung pada ia tidak bisa tidur, tidak bisa makan, dan akhirnya kerap memukul dan berperilaku agresif. Saat stuasi ini mulai terjadi, Kate dan suaminya sering kali tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Memiliki anak dalam kondisi sakit dan sulit diobati membuatnya sedih, ditambah dengan kesulitan tidur yang dialami Cooper. Para terapis juga mengatakan bahwa sikap Cooper berbeda. Semuanya membuat tantangan semakin berat bagi Kate.
Ia sangat menyayangi anaknya, tetapi kondisi ini membuat Kate menjadi tidak stabil dan tidak bisa berpikir jernih. Ia mulai membuat setiap orang menjauh dan berusaha melakukan segala sesuatunya sendiri.
Kate kemudian sering merasa sendirian. Ia kerap membayangkan, akan sendirian menjaga anaknya. Ia harus memperjuangkan sesuatu yang tak pernah ia duga atau harapkan, sesuatu yang ia harus terus perjuangkan.
Kate bukanlah terapis atau ahli dalam bidang autisme, dan ia akan berusaha sekuat tenaga untuk anaknya, meski kadang sudut pandangnya tidak selalu benar. Ia juga tidak mau menunjukkan kesedihannya karena tidak ingin terlihat lemah atau kesusahan. Keadaan tidak memberikan waktu baginya untuk bersedih atau mencari pertolongan. Ada hari di mana Kate merasa bahagia, tetapi ada juga hari di mana ia merasa teramat sedih. Hal yang membuatnya terus bangkit adalah kedua anaknya.
Ada saat-saat di mana ia terduduk dan menangis, serta dan bertanya-tanya bagaimana ia bisa tahu apakah Cooper sedang kesakitan atau tidak. Ada hari di mana ia menyalahkan orang-orang di sekitarnya yang tidak menolong Cooper. Depresi bukanlah hal yang baik.
Sebagai Ibu yang mendampingi anak penyandang autisme, bagi Kate, ia harus mengakui bahwa terkadang keadaan memang sulit dan suasana hati sedang tidak baik. Kate mengambil langkah untuk mengakui semua yang ia rasakan kepada suaminya, dan syukurnya, sang suami memberikan semangat dan dukungan bahwa Kate sudah melakukan yang terbaik untuk keluarga kecil mereka.
Kate tidak tahu apakah keadaan akan semakin buruk atau semakin baik, hanya waktu yang dapat menjawab setiap pertanyaannya.
Sumber: https://www.findingcoopersvoice.com/2017/03/28/mom-gets-depressed/
Penulis: Yesi Riana | Marketing di Community Music Center, Jakarta