Terapi wicara merupakan salah satu intervensi yang digunakan dalam menangani anak autistik. Sebagian besar penyandang autisme memiliki kesulitan berkomunikasi, baik dalam bentuk verbal atau non-verbal (bahasa lisan, tulisan maupun non-lisan), serta dalam interaksi sosial. Hal ini dapat terjadi karena ada kemungkinan anak autistik mengalami keterlambatan berbicara. Keterlambatan bicara ini disebabkan oleh tahap perkembangannya yang juga terhambat. Bagi sebagian anak autistik, komunikasi dipandang sebagai suatu hal yang tidak menjadi kebutuhan utama. Selain itu, anak autistik cenderung memiliki ketertarikan yang lebih terhadap sesuatu yang mereka anggap spesial dibandingkan dengan komunikasi itu sendiri.
Lantas, bagaimana bentuk bicara pada anak autistik?
Ciri-ciri yang memungkinkan adalah sebagai berikut:
- Tidak bisa bicara sama sekali
- Mengeluarkan suara-suara tenggorokan
- Suara tersengal-sengal
- Mendengung, berbicara seperti menyanyi
- Mengoceh dengan berbagai macam bunyi
- Menggunakan suara yang terdengar asing atau aneh
- Bicara seperti robot
- Meniru pembicaraan seperti orang lain tanpa memahami artinya (ekolalia)
- Terkadang menggunakan kalimat tetapi tidak dengan suara yang dapat didengar
Contoh kasus: Moses, penyandang autistik berusia 3 tahun
Agar lebih paham, mari kita simak contoh kasus berikut ini. Moses merupakan anak penyandang autistik yang berusia 3 tahun. Ibunya (Julia) bercerita bahwa Moses sering duduk di meja dapur dan menunggu dirinya selesai membereskan dapur. Terkadang Moses berteriak secara tiba-tiba dan menghampiri Julia di dapur. Julia bersama dengan suaminya berusaha memahami perilaku Moses tersebut. Seiring berjalannya waktu. Julia mulai paham bahwa perilaku Moses yang seringkali duduk di meja dapur dan menunggunya, menandakan bahwa ia sedang haus. Namun, perilaku Moses yang suka berteriak belum dipahami oleh Julia sepenuhnya. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh Moses dengan berteriak?
Julia dan suaminya sering menebak bahasa tubuh Moses untuk memahami apa yang jadi keinginannya. Ada kalanya benar, namun ada saatnya mereka keliru. Moses memiliki pemahaman yang sangat terbatas terkait dengan pikiran dan perasaan. Ia tak memiliki kesadaran akan kebutuhan untuk mengkomunikasikan apa yang ia inginkan. Contohnya, Moses sadar bahwa dirinya haus, namun ia tidak mengerti bagaimana lingkungan di sekitarnya (ibunya) merespon dan memberikannya air. Moses tidak paham bahwa ia bisa mengkomunikasikan kebutuhannya pada ibunya, karena ia tidak memahami peran Julia sebagai ibunya.
Apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepekaan dan komunikasi anak autistik?
-
Jalin kontak mata
Berdasarkan kasus Moses, Julia dan suaminya mulai belajar untuk memahami perilaku Moses. Salah satu hal yang mereka pelajari adalah menjalin kontak mata dengan Moses. Mata diibaratkan sebagai jendela dunia, dan kontak mata melibatkan komunikasi dengan sesama manusia. Moses memiliki pengertian yang sangat minimal akan kebutuhan kontak mata dengan lawan bicaranya, sehingga Julia dan suaminya berinisiatif melakukan kontak mata langsung dengan Moses di setiap kesempatan. Mengajak Moses bermain game yang disukainya membantu melatih kontak matanya.
-
Gunakan permainan yang disukainya
Sebagai orang tua, jangan ragu untuk melibatkan diri dengan permainan anak autistik yang tidak biasa. Misalnya, Moses memiliki hobi membolak-balik halaman katalog majalah sambil mengoceh dengan berbagai macam bunyi. Julia dan suaminya pun mengikuti permainan Moses dengan menirukan ocehannya, kemudian Julia menyuarakan “Moses”, “Mommy”, dan “Daddy”, yang kemudian diikuti oleh anaknya. Moses menyukai suara yang lambat dan diulang-ulang, Julia pun mengubah suaranya menjadi seperti yang disukai oleh Moses. Secara tidak langsung. Meski Moses belum memahami makna dari kata-kata tersebut, namun ia dapat menyebut “Moses”, “Mommy”, dan “Daddy”.
-
Respon yang baik dari orangtua
Respon yang baik dan sesuai dari orang tua juga sangat dibutuhkan. Julia dan suaminya memiliki cara tersendiri dalam menanamkan nilai atau makna dari aktivitas yang dilakukan bersama dengan Moses, terutama yang berhubungan dengan perilaku sosial. Setiap pulang dari kantor, suaminya akan mengatakan “Halo Moses, Daddy sudah di rumah” dan memberikan Moses pelukan hangat. Atau di setiap waktu kosongnya, Julia akan menyelipkan makna pada aktivitas yang dilakukannya bersama dengan Moses dengan kata-kata. Ketika ia mengumumkan kepada Moses dengan berseru “Catalogue time!”, hal ini berarti sudah waktunya Moses bermain dengan buku katalog kesukaannya.
Cara anak autistik mengkomunikasikan apa yang diinginkannya mungkin tidak mudah dipahami secara sosial. Kita juga tak selalu bisa untuk memahami apa yang mereka inginkan. Namun jika dilihat dari perilakunya, ada satu hal yang pasti : selalu ada pesan yang tersembunyi bagi kita untuk mengartikan perilaku mereka. Jadi, jangan pernah abaikan perilaku mereka, tetapi telusuri apa yang menjadi kebutuhan bagi mereka.
Sumber :
Sipala. Y. (2011). Terapi Wicara Pada Anak Penyandang Autisme.
Williams.C., Wright. B. (2004). How to Live with Autism and Asperger Syndrome: Practical Strategies for Parents and Professionals. United Kingdom : Jessica Kingsley Publisher.
Penulis: Gisela Gita, S.Psi. | Mahasiswa Sarjana Psikologi Peminatan Klinis, Universitas Atma Jaya, Jakarta