Rachel, seorang ibu yang berasal dari Minnesota, memiliki seorang anak perempuan, Lily, yang didiagnosa autistik. Awalnya, Rachel dan pasangannya tidak menyadari tanda-tanda yang menunjukkan ciri-ciri autistik. Menurut Rachel, ada banyak penyangkalan awalnya tapi mereka mulai menyadari saat Lily mulai mengalami keterlambatan dalam berbicara.
Pekerjaan Rachel sebagai agen asuransi tidak memungkinkan keluarga kecil mereka untuk memanfaatkan jasa penitipan anak atau Day Care. Mereka disibukkan dengan tuntutan pekerjaan serta mengurus rumah, sehingga hampir tidak memiliki kehidupan sosial alias jarang berkumpul dengan teman-teman mereka.
Awalnya, karena mereka merasa Lily dapat menyampaikan apa yang ia inginkan, atau sebaliknya- karena mereka dapat memahami Lily- Rachel dan pasangannya berpikir bahwa keterbatasan kosa kata pada Lily bukan masalah besar. Selain itu, Lily mampu melakukan hal lain sesuai dengan usianya.
Namun Rachel dan pasangannya tetap menyampaikan kekhawatiran mereka pada dokter yang menangani Lily. Namun karena tidak tampak terlalu banyak gejala yang jelas, Dokter hanya menyarankan Rachel dan pasangannya untuk terus mengamati perkembangan putri mereka.
Mereka tak memungkiri bahwa kemampuan Lily berbicara saat usianya 3 tahun masih tertinggal jauh dengan anak-anak berusia 2 tahun. Saat itulah mereka memutuskan untuk mencari bantuan profesional. Kebiasaan menghindari kontak mata, tindakan yang diulang-ulang, dan sebagainya mulai bermunculan kemudian.
Saat mendapatkan diagnosa, Rachel merasa cemas, marah, malu, dan frustasi. Hal ini adalah reaksi wajar karena setiap orang umumnya akan merasa takut akan hal yang tidak diketahuinya. Saat pertama kali mendengar “kata autis“ yang terpikirkan adalah film Rain Man atau sebuah “penyakit yang sedang trend“. Tetapi Rachel dan pasangannya belajar lebih banyak mengenai autisme untuk lebih bisa memahami dan menerima kondisi putri mereka.
Menurutnya, Lily hanya melihat dunia dengan cara yang berbeda. Saat ia mulai menerima hal itu, ia lebih mudah untuk maju ke depan dan menjadikan kehidupan Lily sebaik dan senyaman mungkin.
Lily banyak berbicara, kebanyakan mengulang-ulang suatu kata, tapi ia semakin baik dalam berkomunikasi. Ia juga punya masalah dengan sensorinya. Beberapa suara dapat mengganggunya, seperti suara bayi menangis, akan dapat memicu “meltdown“ atau membuat Lily mengamuk.
Meski banyak penyandang autis yang tidak ingin disentuh, Lily tidak keberatan dengan sentuhan. Lily juga menyukai binatang, khususnya kucing peliharaan mereka. Ia juga senang membantu ayahnya memasak.
Lily tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Sehari-hari, ia pergi ke pre-school umum 3 jam per harinya, selama 4 hari dalam seminggu untuk menggantikan terapi bicara dan okupasinya. Guru di pre-school Lily pun sangat membantu.
Mereka juga mencoba cara-cara lain, seperti kemungkinan menggunakan anjing untuk menemani anak. Ada beberapa organisasi yang melatih anjing untuk menemani penyandang autis. Rachel berharap dapat menggunakan jasa bantuan tersebut.
Rachel tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berhubungan dengan autisme. Ia sangat bersyukur, kantor tempatnya bekerja sangat mengerti akan kondisi Rachel. Ia dan pasangannya menyadari bahwa mereka memiliki tantangan lebih daripada keluarga lainnya, tetapi mereka tidak menyesali keadaan ini.
Ia dan pasangannya ingin Lily tahu bahwa mereka menyayangi Lily tanpa syarat, serta sangat bangga akan Lily karena ia adalah sosok yang luar biasa. Ia tidak tahu akan seperti apa Lily nanti saat ia dewasa. Ia melihat ada banyak perkembangan yang baik dalam Lily, dan ia yakin Lily akan baik-baik saja.
Rachel memberikan saran kepada orang tua yang baru saja memiliki anak yang didiagnosa autistik untuk mencari dukungan sebanyak mungkin. Orang tua harus menerima bahwa keadaan yang ada akan menjadi tantangan tetapi akan membuahkan hasil. Autisme bukanlah sebuah ‘vonis’ yang mengerikan, melainkan hanya jalur ‘kehidupan’ yang berbeda.
Sumber: https://www.yesandyes.org/2013/08/true-story-my-daughters-autistic.html
Penulis: Yesi Riana | Marketing di Community Music Center, Jakarta