“Kami menjalani proses diagnosa. Juga menjalani proses melalui IEP (Individualized Education Program) dan evaluasi. Kami mempelajari sistem edukasi di tiga negara bagian. Saya mulai merasa seperti Ibu dari anak autistik yang sudah berpengalaman,” tutur Mandy Farmer, seorang ibu dari anak autistik.
Beberapa waktu belakangan, Mandy merasa terkejut saat mengetahui dua temannya juga menjalani tahap evaluasi spektrum autisme bagi anak-anak mereka. Dan Mandy tidak tahu harus berkata apa. Mandy hanya dapat memikirkan hal-hal yang belum tentu baik dan nyaman untuk dikatakan, berdasarkan pengalaman pribadinya.
Semua komentar yang Mandy terima saat ia baru memulai perjalanan sebagai ibu dengan anak autistik, meski didasari maksud yang baik dan untuk menenangkan, tetap terdengar menyakitkan bagi Mandy.
Saat berbicara dengan para ibu yang ada di posisinya dulu, semua peristiwa yang pernah ia alami kembali terbayang di kepalanya. Beberapa nyaris terucap karena Mandy tidak tahu harus berkata apa. Mandy akhirnya mengerti bagaimana rasanya menjadi orang-orang yang dulu memberikan komentar kepadanya. Ada beberapa yang menurutnya, lebih baik tidak diucapkan ke para orangtua yang baru saja memperoleh diagnosa bahwa anak mereka memiliki autisme.
Menurut Mandy, ia tidak akan mengatakan, “Saya turut prihatin”. Ia sering mendengar ujaran ini. Meski terdengar sebagai ekspresi rasa simpati, tetapi pernyataan tersebut membuat Mandy merasa lebih buruk tentang keadaannya, bukan lebih baik. Ia tidak ingin orang lain merasa prihatin akan kehidupannya. Meski kehidupannya berbeda dengan keluarga lainnya, tetapi bukan berarti kehidupannya lebih berkekurangan. Meski anaknya mungkin akan melewatkan beberapa hal, bukan berarti dia kekurangan. Menurut Mandy, diagnosa dan keadaaan anaknya, bukan hal yang patut diprihatinkan. Orang lain pun tidak seharusnya merasa demikian.
Mandy juga tidak dapat berkata, “Dia akan baik-baik saja“, karena kita tidak pernah tahu apakah anak-anak kita akan baik-baik saja. Menurut Mandy, kita tidak pernah tahu apa implikasi dari diagnosa awal atau apa yang akan terjadi 20 tahun kemudian. Orang-orang mengatakan bahwa karena anak Mandy dideteksi sejak dini, maka kemungkinan anaknya akan baik-baik saja. Hal itu menyakitkan karena bagi Mandy, jika anaknya tumbuh dewasa dengan tanda-tanda autis dalam diri anaknya tidak berkurang, apakah itu berarti Mandy telah gagal menjadi seorang Ibu? Dia tidak ingin orang lain membanding-bandingkan kisahnya dengan kisah orang lain. Mandy sendiri tidak berani memberikan nasihat kepada Ibu dengan anak autistik lainnya hanya karena dia juga memiliki anak autistik.
Kata-kata “Dia terlihat normal“ juga sering didengar Mandy. Kata-kata ini terdengar seperti pujian. Kata-kata tersebut bukan hanya mengecilkan apa yang dilalui Mandy setiap harinya, tetapi juga bahwa jika anaknya menyandang autisme, artinya dia “tidak normal” atau abnormal. Mandy juga pernah beberapa kali mendengar komentar, “Oh, saya harap tidak“. Kata-kata ini sangat tidak enak untuk didengar, seolah-olah berharap diagnosa tersebut tidak akan menjadi kenyataan.
Menurut Mandy, ujaran-ujaran tersebut di atas, hanya menambahkan beban pikiran pada orang tua anka autistik. Mereka tidak perlu saran atau rasa kasihan. Lebih jauh, janganlah mengecilkan perasaan mereka atau memberikan harapan semu. Yang diinginkan orang tua anak autistik, hanyalah kesempatan untuk didengarkan. Mereka ingin agar orang-orang di sekitar mereka, tetap ada bersama mereka dan tidak memberikan label.
Mandy pun menyadari bahwa kata-kata yang paling tepat diucapkan adalah, “Saya ada di sini“, yang diucapkan dengan tulus. Yang dibutuhkan oleh para orangtua dengan anak berkebutuhan khusus adalah dukungan dan bantuan dalam kehidupan mereka. Memahami dan menawarkan dukungan saat mereka membutuhkan bantuan Anda.
Sumber :
https://www.autismspeaks.org/blog/two-words-you-should-say-someone-facing-autism-diagnosis
http://www.frommotherhood.com/
Penulis: Yesi Riana | Marketing di Community Music Center, Jakarta